Batubara (coal) merupakan salah satu sumber energi primer yang paling banyak digunakan di seluruh dunia untuk pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA, 2016), kebutuhan energi listrik di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat 160% dari tahun 2014 hingga 2040, dengan batubara sebagai pilihan bahan bakar utama.
Sumber : World Energy Outlook, IEA 2016
Batubara didefinisikan sebagai endapan senyawa organik karbon yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhan dalam bentuk padat, bersifat rapuh (getas) dan dapat terbakar secara spontan dalam udara terbuka. Pembentukannya berlangsung selama jutaan tahun yang lalu melalui proses aerobik dan anaerobik dalam tekanan dan temperatur yang tinggi. Semakin tua usia batubara, komposisi %-berat dari unsur C (karbon) semakin meningkat. Peringkat batubara, mulai dari : lignit; subbituminus; bituminus; dan antrasit, ditentukan oleh rasio kandungan C terhadap H (hidrogen) yang berpengaruh pada peningkatan nilai kalor.
Pro dan kontra Pemanfaatan Batubara
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar dengan porsi tertinggi dibandingkan bahan bakar lainnya tak lepas dari berbagai keunggulannya. Biaya kapital pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara relatif lebih rendah, yaitu sekitar 1-2 USD/watt dibandingkan sumber energi lain., serta harga yang murah, yakni sekitar 2-4 sen USD/kWh. Berdasarkan data (BP. 2017), Indonesia memiliki cadangan terbukti sebesar 25.573 juta ton yang diprediksi akan habis 200 tahun mendatang. Selain itu, teknologi pemanfaatan yang telah matang membuat pemanfaatan batubara saat ini realtif lebih maju jika dibandingkan sumber energi lain.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran batubara lebih tinggi dibandingkan oleh sumber energi lain. Hal ini disebabkan oleh kandungan karbon yang tinggi sehingga dihasilkan lebih banyak gas CO2 dibandingkan sumber energi lain. Selain CO2, penggunaan batubara dapat menghasilkan gas SOx yang berasal dari kandungan sulfur yang dapat menyebabkan hujan asam. Kandungan logam-logam berbahaya seperti merkuri, arsen dan selenium dapat mencemari udara dan air di sekitar pembangkit listrik dari abu terbang yang tidak terkontrol. Oleh karena itu, saat ini negara-negara maju muilai mengurangi penggunaan batubara dan menggantikannya dengan sumber energi terbarukan
Tantangan Pemanfaatan Batubara di Indonesia
Dewan Energi Nasional (DEN) telah merumuskan Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP No. 79/2014 tentang bauran energi primer yang optimal. Salah satu poin dalam peraturan tersebut menyebutkan pada tahun 2025 peran batubara minimal 30%, dan pada tahun 2025 minimal 25%. Hal ini menjadi tantangan untuk menggunakan batubara sebagai energi ramah lingkungan (green coal technology) yang tidak terlepas dari isu lingkungan. Pasalnya, kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik pada tahun 2050 diprediksi mencapai 79% (BPPT, 2017). Hal ini menjadi tantangan dan potensi tersendiri dalam pengembangan teknologi batubara bersih, bukan sekedar memenuhi kebutuhan listrik tetapi juga memenuhi aspek lingkungan dalam pengelolaannya.
Dalam orasi ilmiahnya di Aula Barat ITB, Sabtu (3/3/2018), Prof. Dwiwahju Sasongko menyampaikan bahwa upaya untuk mencapai green coal technology dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti penanganan emisi-emisi pembakaran batubara, peningkatan efisiensi teknologi pembakaran, dan pengurangan konsumsi batubara dalam pembakaran. Metode-metode tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja teknologi konvensional, pengembangan teknologi pemanfaatan yang baru, serta pengurangan emisi gas CO2, SOx, NOx, dan partikulat yang berbahaya bagi lingkungan.
Teknologi Batubara Ramah Lingkungan
Cadangan batubara di Indonesia menempati urutan ke-9 atau sekitar 2,2 persen dari cadangan dunia. Sayangnya, sekitar 80% cadangan batubara Indonesia termasuk batubara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5000 kkal/kg. Batubara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Dengan produksi batubara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20% yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80% diekspor.
Dengan nilai kalor yang rendah, diperlukan terobosan teknologi pemrosesan yang lebih efisien. Teknologi yang telah diimplementasikan pada skala komersial yaitu teknologi pembakaran. Jenis tungku FBC (Fluidized Bed Combustion) menjadi teknologi yang menarik perhatian karena temperatur operasi yang relatif rendah, yakni 800-900 oC dan sedikit menghasilkan gas NOx. Jika dibandingkan dengan tungku PF (Pulverized Firing), FBC memiliki ukuran partikel yang lebih besar sehingga mengurangi energi untuk grinding. Kendati demikian, temperatur operasi FBC jauh lebih rendah dibandingkan PF yang saat ini banyak digunakan, yakni mencapai 1200-1400 oC.
Flue Gas Desulfurization (FGD) merupakan salah satu teknologi komersial yang digunakan untuk mengurangi emisi sulfur oksida atau SOx. Teknologi ini memanfaatkan air dan batu kapur dengan mengontakkannya dengan gas cerobong yang keluar dari ruang pembakaran. Gas SOx akan bereaksi dengan campuran air dan batu kapur membentuk gipsum.
Selain pembakaran untuk mendapatkan energi dari batubara, teknologi ramah lingkungan lainnya yaitu dengan melakukan pembakaran secara tidak langsung (Indirect Coal Combustion). Metode ini dapat dilakukan dengan dua rute, yaitu gasifikasi dan likuifaksi (pencairan). Teknologi gasidikasi yang telah banyak diaplikasikan di industri yaitu Integrated Gasification Coal Combustion (IGCC), yaitu metode peningkatan rasio hidrogen dengan mengubah batubara menjadi gas sintesis sebelum memasuki ruang bakar. Seiring bertambahnya rasio hidrogen pada bahan bakar, emisi yang dihasilkan jauh lebih rendah. Likuifaksi merupakan metode pencairan batubara yang dapat digunakan sebagai bahan bakar cair. Metode ini telah berhasil dikomersilkan oleh perusahaan NEDO-Jepang dan Brown Coal Liquifaction (BCL) serta Sasol-Afrika Selatan.
Penelitian Batubara Ramah Lingkungan
Rendahnya nilai kalor dan masih rendahnya pemanfaatan pada batubara yang dihasilkan di Indonesia, mendorong Prof. Sasongko dan tim untuk mengembangkan batubara hibrida. Penelitian ini memanfaatkan limbah biomassa yang melimpah dan masih sedikit pemanfaatannya. Batubara peringkat rendah dan biomassa dikonversi menjadi batubara hibrida melalui proses ko-pirolisis. Hasilnya, batubara hibdrida memiliki nilai kalor yang lebih tinggi, kandungan air yang lebih rendah serta emisi CO2 yang lebih rendah karena emisi CO2 dari biomassa bersifat netral. Dengan demikian, batubara hibrida merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan umpan batubara itu sendiri.
Biodesulfurisasi menjadi topik penelitian yang menarik dan penting untuk dilakukan mengingat emisi SOx pada pembakaran batubara yang berbahaya bagi lingkungan. Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk sulfur organik, anorganik (pirit) dan sulfat. Penyisihan dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisik, kimiawi dan biologi. Prof. Sasongko telah melakukan sejumlah penelitian penyisihan sulfur secara biologi menggunakan Thiobacillus ferrooxidans yang dapat menyisihkan kandungan sulfur organik. "Meski proses berlangsung lambat jika dibandingkan dengan kimiawi, lebih dari sepuluh makalah tentang biodesulfurisasi telah saya publikasikan dalam jurnal dan prosiding", imbuhnya.
Proses biologi lain yang dapat digunakan untuk mengolah batubara ramah lingkungan yaitu dengan pencairan (biosolubilisasi) menggunakan kapang (Trichoderma asperellum). Kapang memiliki enzim yang akan menguraikan komponen penyusun batubara seperti lignin. Ulasan mengenai proses ini dibahas pada rubrik Ilmu dan Teknologi berjudul "Emas Hitam Cair van Bandung". Penelitian ini masih berlanjut hingga sekarang menggunakan Trichoderma asperellum dan Neurospora sp.
Menurut Permen LH No. 7/2007, limbah abu batubara baik abu terbang (fly ash) maupun abu bawah (bottom ash) merupakan limbah B3. Sintesis abu terbang menjadi zeolit telah berhasil dilakukan oleh Prof. Sasongko bersama rekan dosen melalui kerjasama dengan PT YTL Jawa Timur. Zeolit tersebut dapat digunakan sebagai katalis atau adsorben
Bahan Rujukan :
IEA, "World Energy
Outlook 2016", International Energy Agency (2016), 1–684.
Komentar
Posting Komentar